A Brief Explanation About Gender and Sexuality Issues in Indonesia: Apa yang Sebenarnya Kita Perjuangkan dari Kampanye Anti Kejahatan Seksual?

Afifah Shafa
7 min readAug 20, 2022

--

Aku menggunakan istilah kejahatan seksual yang meliputi segala sesuatu di dalamnya, termasuk penyimpangan, pelecehan, kekerasan.

Sekurang-kurangnya dua tahun belakangan ini aku terpapar dan dengan sengaja mengekspos diri sendiri terhadap isu sosial terkait gender dan seksualitas. Aku membaca, melihat, dan menonton segala fenomena dari berbagai kacamata yang bisa dengan mudah diakses siapapun.

Di Amerika, atau sebut saja di Barat, ada liberalisme dan glorifikasi kebebasan, sepaket dengan kebebasan mengekspresikan diri serta identifikasi gender yang dianggap sebagai kebebasan pribadi. Di sana, gender adalah pilihan, atau panggilan hati, naluriah atau apapun istilah romantis yang setara dengan itu. Di sana juga, gender dan jenis kelamin dianggap dua hal berbeda. Jenis kelamin atau sex berkaitan dengan bawaan lahir seseorang, apakah dia lahir dengan organ reproduksi yang membuahi atau dibuahi.

Gender, di lain sisi, adalah cara berekspresi yang dalam praktiknya dikaitkan dengan jenis kelamin: misalnya bahwa rok adalah pakaian untuk manusia yang lahir dengan rahim (perempuan). Belakangan rok berkaitan erat dengan feminitas, bahkan menjadi ikon. Fenomena serupa terjadi pada warna pink, rambut panjang, cat kuku, gaun, riasan wajah, dsb. Yang belakangan ingin diwujudkan adalah kebebasan seseorang untuk memilih dan mengekspresikan gender-nya. Genderless approach to children is a good thing. Sebab gender adalah cara berekspresi, maka nggak mengherankan (dan justru terpuji) bagi mereka untuk membesarkan seorang anak dengan pendekatan genderless. Singkatnya, supaya mereka bisa pilih sendiri nanti. Buntutnya, ketika diskriminasi gender dihilangkan secara absolut, nggak ada peraturan khusus bagi laki-laki yang ingin jadi perempuan and vice versa. Nggak ada seorangpun yang boleh menyatakan bahwa perempuan yang lahir dengan rahim adalah perempuan sejati, sebab itu diskriminasi. Menurut kacamata ini, manusia yang lahir sebagai laki-laki yang memilih dianggap perempuan juga adalah perempuan sejati. There’s no “in between”. Kedudukannya dianggap sama.

Kalau kalimatku jadi membingungkan, ganti aja identifikasi “lahir dengan” menjadi “jenis kelamin” atau “sex”. Pada dasarnya sama aja.

Sebentar. Aku belum memberikan pandangan terhadap pemikiran manapun. Baca dulu aja sebagai wawasan umum. Perkara panggilan hati dan idealisme-mu yang mana, biar itu urusan nanti.

Kemudian, menurut budaya Timur, atau sebut saja Asia dan bangsa-bangsa yang nggak ikut-ikutan dalam kolonialisme (atau justru berperan sebagai korban), memiliki pandangan saklek bahwa ada batas antara laki-laki dan perempuan dan itu perlu digarisbawahi. Sex dan gender dihitung sebagai satu hal yang sama, karenanya laki-laki nggak boleh menyerupai perempuan, begitupun sebaliknya. Pada beberapa budaya, ada anggapan bahwa kedudukan laki-laki mutlak di atas perempuan apapun konteksnya.

Di lain sisi, karena aku toh orang Indonesia yang beragama, aku nggak bisa menyepelekan ini: peran dan pandangan agama terhadap isu gender, khususnya Islam (karena aku muslim dan bukan atlet lompat pagar iykyk). Faktanya nggak semua pandangan budaya ketimuran terkait gender itu satu suara dengan Islam. Islam memberikan perempuan hak untuk berkarir, diberi harta waris, hak untuk menggugat cerai, dan banyak lagi. Aku nggak bisa bahas keseluruhannya di sini karena ilmuku juga terbatas, tapi intinya terjadi kesalahpahaman di sekitar kita bahwa Islam = budaya Timur. As a muslim, aku percaya Islam mengantarkan ummatnya pada yang haq, dan bawaan budaya itu nggak semuanya haq dalam pandangan Islam. Kesalahpahaman orang karena budaya dan agama ini sering dianggap satu badan tak terpisahkan juga lumayan bikin sakit kepala tapi biarlah itu jadi hal lain.

What I wanted to tell you is that kira-kira gambaran kasarnya begitu. Itulah yang sedang terjadi di sekitar kita.

So nggak heran ketika ada crash, pertengkaran, dan kesalahpahaman unik tentang “siapa korban siapa pelaku”. Kasus tentang gender dan seks ini tricky. Perempuan sudah lama jadi objek penindasan dan korban atas dominasi laki-laki yang semena-mena, menurutku ini historically approved.

Kemudian berlanjut lagi pada narasi bahwa ketika ada kasus kekerasan seksual, pertama-tama berpihaklah pada korban. Nah ini tricky, tricky mampus. Aku pribadi sudah cukup muak melihat masyarakat menyalahkan pihak perempuan soal “kamu sih mancing duluan”, “bajumu terbuka sih”, and so on tanpa sedikitpun mengarahkan pistol komentar keji pada pelaku. Fokus berlebihan pada perilaku perempuan yang oleh masyarakat dianggap kurang sesuai ini buatku menyakitkan dan bikin marah.

Di lain sisi, ketika kita disodorkan dengan fakta bahwa banyak orang menyalahkan korban, apakah itu lantas menihilkan kemungkinan bahwa ada juga orang yang ingin memanipulasi situasi supaya orang yang dia anggap merugikan (tidak dengan konteks yang nyambung, misalnya dianggap merugikan karena cintanya ditolak, re: Ucup-Nanda) bisa dirujak separah masyarakat ngerujak pelaku kejahatan seksual? No, it’s not. Ada banyak orang keji (atau putus asa) yang tega membiarkan orang lain jatuh ke dalam kubangan komentar jahat atas sesuatu yang bahkan nggak dia lakukan.

Tentu. Berpihak pada korban kedengarannya begitu benar, tapi apakah lantas mutlak? Pada sejarahnya banyak sekali perempuan yang tertindas, hak-haknya disalahi oleh laki-laki, tapi apa kemudian laki-laki yang dianggap memiliki lebih banyak power untuk menjadi pelaku, nggak mungkin jadi korban pelintiran isu? Mungkin aja. Bicara persentase-pun rasanya agak sulit dalam kasus ini, but you got the point. This world is slippery, kids.

Kasus berikutnya: tentang pemahaman seputar gender.

Sebagai orang yang nggak ada liburnya main Twitter, it’s a serious pain in the neck melihat orang-orang saling menyalahkan seputar ini. A said, “Dasar bego. Gender sama jenis kelamin itu beda!”. And not even a minute after that B said, “Di Indonesia, cuma ada laki-laki dan perempuan sesuai bawaan. Jangan ngaco!”.

Trivia sedikit, ya. Di semester lalu aku dapat matkul menarik yang namanya Cultural Studies. I got an A from this subject (in case you think I’m not academically paying attention since I have my own opinion). Tentu saja karena aku mahasiswa Sastra Inggris, culture di sini adalah budaya orang-orang Inggris (atau Barat, gosh idek anymore how to distinguish Barat and Inggris, they’re confusing).

Aku belajar tentang social movement, dasar filosofis atas sebuah pergerakan, peran media, sampai representasi identitas. Yang terakhir ini menarik. Aku terus bertanya-tanya kenapa representasi identitas, misalnya dalam film, itu penting? Netflix segitu tekunnya menyiapkan tokoh LGBTQ+ di film produksi mereka dan orang muslim seluruh dunia segitu capeknya teriak-teriak karena representasi mereka di film Barat gak jelas, gak nyambung, even too eerie to be called as representative since whatever showed up as muslim doesn’t even close to the community. Kalau ada kasus-kasus ini ya aku juga pihak yang kebakaran jenggot, marah-marah, dan sewot, tapi aku sampai di pertanyaan kenapa itu penting? Kenapa representasi identitas itu penting? Aku dan jutaan manusia di luar sana adalah makhluk yang bisa-bisa aja marah tanpa tau sebab signifikannya, but there it is: I got a chance to find the answer.

Dosenku bilang, “Karena identitas adalah hal yang nggak akan pernah final.”

Boom. Itu dia. Sekarang jadi masuk akal kenapa banyak banget pertengkaran di Twitter seputar gender dan sex yang nggak ada habisnya: kita nggak sepakat sejak definisi. Kita semua sedang membentuk identitas, dan identitas adalah hal yang nggak akan pernah final.

A bisa percaya bahwa gender dan sex itu dua hal berbeda, dia percaya bahwa pemikiran Barat masuk akal dan bisa diterapkan di Indonesia. Sedangkan B di lain sisi, hidup dengan menjunjung tinggi nilai yang dia adopsi dari masyarakat. Dia percaya sepenuh hati bahwa dia nggak perlu dan nggak mau tau bahwa di luar sana ada perbedaan antara gender dan sex, soalnya dia memang nggak sepakat dengan konsep itu sendiri.

Apakah orang yang memilih untuk tidak sepakat dan tidak percaya adalah orang yang bodoh?

No. They got principles and they got choice. And on the top of everything, we’re not done yet.

Dalam situasi ini aku selalu pilih untuk balik lagi ke prinsip di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Ngeyel-lah pada tempatnya. Berdebat dan berjuanglah pada tempatnya. Kenali lawan bicaramu, dengan siapa kamu berkomunikasi. Hindari pertengkaran dengan orang yang dari akarnya beda karena itu buang-buang energi dan nggak cerdas. Kita hidup di zaman dengan banyak trik psikologi dan ilmu komunikasi, sebagian orang bahkan dikarunia kemampuan untuk cakap memanipulasi keadaan. Buatku, itu cara yang lebih pintar.

Terakhir, yang sebenernya poin utama dari essay tak tentu arah ini: Apa yang Sebenarnya Kita Perjuangkan dari Kampanye Anti Kejahatan Seksual?

Jawabannya akan beragam, tapi biasanya seputar ini:

  1. Memberantas hangus patriarki
  2. Menghukum pelaku kejahatan dengan hukuman setimpal
  3. Menciptakan dunia yang lebih aman bagi perempuan
  4. Mewujudkan kesetaraan gender

Sebetulnya dari empat poin di atas aja udah banyak kontradiksi di sana-sini. Menciptakan dunia yang lebih aman bagi perempuan dari kacamata muslimah yang mengimani konsep aurat, berarti toilet terpisah antara laki-laki dan perempuan (by birth or in other word “sex”), tapi mewujudkan kesetaraan gender berarti mengakui bahwa transgender bukanlah gender ketiga. In other words, izinkanlah pada transgender memilih toilet sesuai gender mereka sekalipun apa yang mereka identifikasi sebagai gender nggak linier dengan jenis kelamin.

Iya. Kacau. Nggak ketemu. Membingungkan.

Terus, poin kedua misalnya, apa definisi dari setimpal? Hukum dan konstitusi punya jawabannya, tapi ini pun masih jadi perdebatan karena beberapa pihak merasa apa yang sudah diatur dalam undang-undang belum memenuhi definisi “setimpal”. Seorang perempuan misalnya kehilangan masa depannya sama sekali karena diperkosa, belakangan memilih bunuh diri karena putus asa. Apa hukuman yang setimpal bagi pelaku? Hukuman mati?

Oh dear, Komnas HAM akan jadi yang paling depan untuk melawan gagasan ini.

Tapi apakah menurut orang hukuman mati itu setimpal? Ya. Sudah dengar kabar NAPI pemerkosa yang mati di sel? Find it on Google and let the result suprise you. Amukan massa is a real thing.

Masyarakat mengamuk atas nama hidup orang lain yang dihancurkan. Masyarakat marah karena perbuatan keji berupa kejahatan seksual melibatkan kerusakan bertubi-tubi. Hancurnya hidup satu individu itu sendiri sudah fatal, apalah lagi kabar keluarganya? Teman-temannya? Orang lain yang sama rentannya dengan korban?

Buatku, yang selama ini kita perjuangkan dari bunyi-bunyi riuh anti kejahatan seksual adalah kehormatan. Harga diri. Cara manusia menghargai dan menghormati satu sama lain. Kehidupan. Kesempatan demi perbaikan dalam bentuk apapun yang nggak seharusnya direbut orang lain.

Dan untuk menemukannya, kita perlu identitas.

Now here it is. Pertanyaan final,

Akhirnya, dengan cara apa kamu memutuskan untuk mendefinisikan identitasmu? Dengan cara masyarakat atas nama terima kasih dan budi pekerti serta nilai-nilai yang nggak bisa diganggu gugat, atau atas nama kebebasan individu yang mungkin menurutmu patut kamu perjuangkan?

The choice is all yours.

--

--

No responses yet