As Much As I Think I Didn’t Change, I Do

Afifah Shafa
2 min readAug 30, 2023

--

I was just scrolling through my old stories, uploaded around 2020–2021. That’s… approximately 2 until 3 years ago. Which doesn’t at all feel real.

And suddenly I realized how much part of me have been changed.

Aku sudah berhenti mengomentari tiap film dan cerita dengan ekspektasi bahwa orang akan memahami apa yang aku bicarakan and they would stand in the exactly same line as me. Masih suka dokumenter, tapi genre-nya udah expand. Bukan true crime doang, sekarang melebar sampai hal-hal fenomenal — kinda cliche one — the last one I finished was Depp VS Heard. Uh-huh, a celebrity’s divorce.

Aku berhenti menunjukkan citra anak muda nasionalis super strict sama diri sendiri, because I get seriously exhausted with that. Bukan karena aku dicelathu sama pemerintah atau “tulisan sensitif”-ku mengundang keributan (I can’t believe I used to wish for this, crazy enough) — tapi karena potensiku nggak di sana. And I drained myself so much for too long only for that.

I also stopped dreaming for Europe. Bukan karena dia nggak cantik lagi, tapi karena aku sadar tujuanku bukan di sana. Three years examining cases after cases, both real and fictional, from academic perspective until how it practically being discussed among the society, ideology to culture — none, literally NONE of them was easy to study, but I got my vision less blurry and my view turned less naive.

Bahwa nggak semua orang datang dan tumbuh dengan pemahaman yang sama dengan aku. Bahwa ada terlalu banyak step yang terlewat dari kegiatan yang selama ini aku sebut “dakwah gaya aku”. Bahwa jalan ke mimpiku lebih banyak batu sandungnya daripada mulusnya. Bahwa daripada menaklukkan kota besar dan jadi seseorang, aku lebih suka jadi owner cafe makanan manis merangkap tukang antar jemput anak SMP [my sisters, specifically] yang hidup di kota kecil dengan hobi, pekerjaan, teman dan kenalan yang itu-itu aja. Bahwa jalan pikir orang nggak selamanya sejalan dengan aku —it doesn’t even work the same way as mine, and there’s nothing I can do about it. Bahwa aku masih suka berfantasi tentang gimana jadinya kalau aku ketemu banyak temen-temenku di masa lalu (dan sampai pada kesimpulan bahwa nggak akan terjadi apa-apa, aku cuma akan makan-ngobrol sekadarnya-lalu pulang). Bahwa dalam banyak aspek, aku masih kekanakan di usiaku yang menginjak tahun ke-20. Bahwa ketika aku serius mau melakukan sesuatu, Allah selalu baik dan kasih jalan.

Dan bahwa rupanya aku nggak berakhir di usia ke-18.

Rupanya orang punya berbagai persepsi soal aku, dan nggak satu pun perlu aku luruskan karena prasangka bukan sesuatu yang harus aku hindari. Betapa hal-hal manusiawi sering beriringan dengan rasa takut dan merasa takut sampai nggak bisa bergerak itu hal lumrah.

Aku senang aku nggak berhenti.

Aku bersyukur aku bukan apa-apa dari yang pernah aku harapkan waktu SMA.

Aku senang bahwa aku berakhir jadi begini aja.

Unlisted

--

--

No responses yet